AddThis

Share |

Rabu, 03 Maret 2010

JINGGA di bukit semboja

By : Leily Rahmadewi

Semua peristiwa dalam perjalanan hidup kita bergerak indah dalam ruang dan waktunya sendiri-sendiri………

Tanpa kita bisa menahannya untuk tidak pergi………

Ataupun menggugatnya untuk hadir kembali…..

Hidup adalah sebuah misteri agung….


Ketika karang sudah tidak lagi berongga dan bercela…..karbon dioksida yang berhembus dari dalam tubuh justru terpaksa terhirup kembali menguasai system pernapasan ku yang mulai melemah…sang oksigenpun mulai kehilangan semangatnya untuk menembus ruang kosong diantara karang tempatku terdiam…..betapa tidak kuasanya makhluk yang dinamai manusia ini, ketika harus berhadapan dengan jalan tanpa tembusan….dimanakah sahabatku kekuasaan yang dulu pernah menemaniku disini ? kemana perginya manisnya dinar yang pernah memanjakan diri ? apakah ada yang tahu kemana perginya cinta kekasih yang senantisa membelaiku disaat terpuruk ?......semuanya menjadi penuh kepalsuan, hanya berbekas janji manis saja. Satu-satunya sms balasan yang aku terima adalah bahwa, kekuasaan sedang sibuk dengan jadwal kunjungan luar negeri..dinar sedang ada janji dengan korun di planet cyber dan cinta sedang intens sama tante-tante klient kawin kontraknya.

Semuanya berawal dari rasionalitas tanpa batas dan cinta yang tidak berujung. Kombinasi keduanya menghasilkan formula keliaran yang yang mampu menerjang batas hierarki kesopanan manapun, dan diyakini mampu membuat yang tidak nyata menjadi nyata. Betapa sempurnanya apa yang terlihat, tercium dan teraba ketika itu. Nihilisme dan skeptisisme telah berhasil menggeser semua Kecerdasan Spiritual yang tersisa. Tanpa pernah disadari hingga tiba saat semua aksesoris keagungan dunia itu mulai menjauh pergi.

Jauh sudah kaki ini melangkah, merayap di keheningan senja. Menembus belukar yang mencabik-cabik kulit. Terus ku kejar sinar Sang Surya yang mulai melemah. Bayangan pohon-pohon besar di hutan perawan kala senja, membuat bulu kudukku berdiri. Hanya satu keyakinan yang terus berbisik “semua perjalanan pasti menemui batas akhir, untuk sebuah awal yang baru ataupun untuk akhir dari perjalanan yang melelahkan ini”. Langkahku terhenti saat kurasakan jalanan mulai menanjak menuju suatu perbukitan. Kucoba langkahkan lagi kakiku lebih cepat dari sebelumnya, berharap dipuncak bukit itu akan ketemukan secangkir ketenangan yang bisa membuat ragaku bekerja lebih baik. Semerbak harum bunga semboja memenuhi paru-paruku, ‘klasik, mistis, misterius tapi ramah’ sambutan bukit ini menyapa perasaan dan pikiranku. Pikiran yang sedang berusaha menebak dan meraba apa yang sedang dan akan kuhadapi disini.

Hanya satu kata yang bisa terucap kala kupijakkan kaki di pucak bukit ini “Sempurna” . hamparan pantai tampak berbaring tenang dibawah sana. Senja yang begitu sempurna di bukit semboja. “Ya” …..ku sebut tempat perhentianku kali ini ‘Bukit Semboja’. Dibukit semboja ini Jingga berdiri. Mewarnai langit senja ditemani lembayung dan sang angin yang senantiasa bersenandung. Untuk sebuah ketidak berdayaan, ketidak sempurnaan, ketidakmampuan hingga kekosongan. Untuk menyambut malam yang dipenuhi dengan anugrah cahaya sang dewi malam dan kerlip lembut sang bintang haekal.

Tugu nol kilometer hidupku telah kudirikan di bukit semboja ini. Sebuah penanda antara akhir perjalanan dan awal perjalanan baru seorang Jingga. Nol berkontradiksi dengan nol untuk menghasilkan nol yang baru hingga batas waktu merubahnya. Semoga segala sesuatunya bisa menjadi lebih menenangkan bagi jingga disini. “Avant Garde” sebuah kata yang begitu saja tergetar dari pita suaraku…tapi kali ini tanpa bayangan rasionalitas liar yang pernah menipuku.

Tidak ada komentar: